Namanya Stella, seorang gadis yang ditakdirkan hidup sebatang kara. Ia
tinggal di sebuah desa terpencil bernama Arme. Konon, desa tersebut menjadi
saksi bisu peperangan antar 2 pihak negara. Genjatan senjata dimulai, pecahlah
perang besar dan merusak ketrentraman desa hingga berbagai ancaman mati
menghujat warga. Orang tua Stella menjadi salah satu markas pemuda medan
pertempuran garis terdepan. Pertempuran akhirnya mereda setelah kedua pihak
pimpinan negara saling berdamai. Tetapi harga kemerdekaan tetap harus dibayar
mahal, orang tua Stella gugur bersama ratusan warga lainnya. Perang besar itu
meninggalkan bekas penobatan para pahlawan pelindung desa yang gugur di medan
perang, orang tua Stella juga diantaranya. Tinggallah Stella sebatang kara,
dengan usia belia yang belum mengerti banyak hal.
Hari berganti bulan, bulan dirangkai menjadi tahun, Stella beranjak
dewasa dengan usianya yang mendekati 20 tahun. Tetapi dunia serasa tidak pernah
adil, entah dengan alasan apa hidupnya selalu berada pada titik poros perputaran
terbawah. Tak satupun warga sekitar berbaik hati dengannya. Jangankan
pekerjaan, langitpun ia jadikan sebagai atap pelindung dan alam sebagai tempat
ia tinggal. Namun hati Stella bukanlah hati seorang pendendam, transformasi
perubahan hujatan warga menjadi seutas senyum khas Stella telah ia jadikan
sebagai kepribadian yang mulia. Namun tamparan hidup yang ia jalani tidaklah
cukup membesarkan hati. Sebagai bayarannya, setiap malam ia selalu mengunjungi makan
kedua orang tuanya dan mengadu hati menangisi apa yang telah ia alami. Mengucap
harapan-harapan pembahagiaan yang akan menghampiri hidupnya, merubah alur
cerita kesedihannya.
“Bu, pak, aku sudah tak punya siapa-siapa dan apa-apa lagi selain makam
ini. Tidakkah ada seseorang disuatu hari nanti peduli dengan hidupku selayaknya
peran yang kalian emban?” Isak tangis Stella mengisi malam hari itu.
Suatu ketika disaat awan hitam menyelimuti langit pedesaan Arme, seorang
laki-laki pejalan kaki telah menarik perhatian warga. Dengan perawakan tinggi,
kurus dan berkulit putih itu memecah langit lengang pedesaan dengan tatapan
tajamnya. Ditambah sepasang pedang dan sebuah senapan terpasang rapi menempel
di masing-masing sisi pinggul lelaki tersebut. Langkahnya teratur tegas
membelah jalanan menuju tengah desa. Sampai akhirnya langkah tersebut terhenti
oleh seorang gadis remaja yang menarik perhatiannya tertidur sendiri diatas
reremputan liar samping perkebuan warga. Yang tak lain adalah Stella. Lelaki
itu langsung beranjak pergi setelah menyadari bahwa Stella terbangun dan
mendapatinya sedang menatap lamat-lamat Stella yang sedang tertidur.
“Sreek sreek..” Bunyi daun kering yang
terinjak olah telapak kaki lelaki itu terdengar jelas karna suasana hutan yang
begitu sepi. Ia memutuskan untuk beristirahat sejenak di hutan setelah melewati
desa Arme. Hampir seluruh tenaganya
terkuras habis karena berjalan terlalu jauh tanpa henti. Waktu berlalu terasa
bergitu cepat, serasa baru saja lelaki itu memejamkan matanya, ternyata hari
sudah mulai gelap. Ia terbangun karena ada hal aneh yang mengintainya
saat ini. Lelaki itu melihat lamat-lamat sekitar, menerka apa yang sedang
mengintainya. Menyeledik setiap sudut pohon dan semak belukar di sekitarnya.
Teryata benar, 10 serigala telah menantinya.
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar