Namaku Alan, Saat ini
aku sedang duduk di kelas 1 SMP. Cita-citaku sungguh mulia, bahkan orang tuakupun
berkata bahwa cita-cita ini sungguh terlalu hebat. Akan tetapi banyak orang
yang mematahkan semangatku dengan berkata "Itu terlalu tinggi lan, tidak mungkin
lah kamu bisa ngerubah dunia dengan hanya duduk di bangku lusuh ini
hahahaha" Ujarnya seraya tertawa terpingkal-pingkal. Ya, memang..
Cita-citaku, ingin merubah dunia dengan sistem yang aku rancang nanti.
Aku akui, aku terlahir
di kota kecil yang jarang di tengok orang, Probolinggo
Mungkin sebagian orang
akan bertanya, dimana Probolinggo? Apakah kota diluar jawa?
Kota ini memang kecil,
dan jarang sekali orang yang mengangkat kotaku menjadi sebuah kota ternama,
Karna alasan itulah aku memiliki cita-cita mulia itu, aku ingin mengangkat nama
kotaku menjadi kota kebanggan Indonesia.
Saat aku berada di SMP,
aku mencoba untuk belajar segiat mungkin. Tapi, ada satu hal yang tak bisa aku
hindari, saat teman-temanku mengajakku untuk bermain sepak bola, main PS dan
melakukan hal lainnya yang mulai aku sukai.
Dan keadaan itu
membuatku lupa segalanya.
Hingga waktunya tiba,
kelulusan itu didepan mata.
Aku mendapatkan nilai rata-rata, jangankan bisa mencetak rekor nilai tertinggi sekabupaten, mencetak rekor nilai tertinggi sekelaspun aku gagal.
Aku mendapatkan nilai rata-rata, jangankan bisa mencetak rekor nilai tertinggi sekabupaten, mencetak rekor nilai tertinggi sekelaspun aku gagal.
Siang hari itu, seusai
penerimaan ijazah, aku berjalan tertunduk, menatap kerikil-kerikil yang
terjejer disepanjang jalan. Ada sepintas pemikiran dalam otakku. Benar, hidup
itu penuh dengan cobaan, kerikilpun yang kecil bisa saja menjadi penghalang
besar bagi siapapun yang melewatinya. Seperti halnya saat ada seseorang yang
sepatunya berlubang, dan tak sengaja ia menginjak salah satu kerikil yang
lancip, pastilah sakit yang ia rasakan. Begitupun hidup, saat kita lengah dengan
suatu hal yang kita sukai, maka ia akan menjadi penghalang bagi hal yang
lainnya, yang justru awalnya lebih kita sukai.
Semenjak kejadian itu, aku terus meniatkan cita-citaku.
Aku beranggapan bahwa apa yang telah aku lewati 3 tahun ini, merupakan pelajaran
dan bukanlah hal yang perlu aku sesali, karna dari situlah aku baru sadar,
hidup tidak hanya memiliki satu arah, dan langkah kaki bisa saja tanpa kita
sadari telah memilih arah lain.
MOS SMA dimulai, kini cita-citaku berubah, aku ingin
merubah negariku dengan sistem yang aku rencanakan.
Orang bilang, SMA adalah
masa-masa terindah, tapi ku mantapkan dalam hati bahwa itu tidak benar, SMA
adalah masa perjuangan dimana ilmu yang diajarkan harus liar diserap, dan itu
sama sekali tidak indah, otak akan lebih sering aku paksa untuk letih berfikir.
Tapi, kegitan lain seperti ekstrakulikuler dan organisasi
intrasekolah membuatku tergiur. Akhirnya aku mengikuti kegiatan ekstrakulikuler
basket dan OSIS yang dua-duanya hanyalah menjabat jadi bawahan. Alhasil
kegagalan dalam cita-cita lagi-lagi tidak bisa kucapai.
Dengan nilaiku yang pas-pasan dan rangking sekolah yang
juga pas-pasan membuatku berfikir bahwa merubah negriku sendiri pastilah
merupakan sebuah ketidak mungkinan. Tidak mungkin aku bisa merubah negeriku
dengan aku yang pas-pasan.
Akhirnya cita-cita itu lagi-lagi aku turunin menjadi
bagaimana aku bisa merubah kotaku.
Tahun ini, aku memasuki kuliah dengan jurusan yang aku
pilih, yaitu HI (hubungan internasional) dengan itu aku bisa mengembalikan
cita-citaku yang awal dengan cara merubah negeriku menjadi sebuah negri yang
memiliki hubungan baik dengan negeri lainnya.
Kuliah itu aku tempuh 5
tahun, tak mudah ternyata. Aku lulus dengan IPK yang pas-pasan juga akhirnya.
Dari sinilah aku berfikir bahwa semuanya menjadi
mustahil.
Bagaimana aku bisa dipandang bila aku hanya seorang yang
mampu tidur dan berangan?
Aku kembali tertunduk, persis seperti dulu waku kelulusan
SMP.
Semuanya menjadi mustahil.
Tetapi aku sadar, ada sesuatu yang melintas dalam hati. Ada satu kemungkinan yang belum terlambat.
Yaitu “Jika aku tak mampu merubah dunia, jika aku tak
mampu merubah negeriku, juga kotaku, maka yang paling tepat untuk perubahan itu
sendiri adalah diriku”
-- Sekian ---
Kisah ini dikutip dari
cerita teman, yang mungkin juga terdapat dalam sebuah buku yang memiliki makna
yang sama
Terimakasih telah
menyempatkan membaca J
musuh terbesar memang diri sendiri.
BalasHapusSalam kenal :)
ps: Probolinggo, kota yang bisa ditempuh dua jam dari tempatku sekarang berada :D
Iya, salam kenal juga :)
Hapusmemang sekarang tinggal dimana erma?
Masuk Masuk...:D
BalasHapusmasuk kelas? :D
Hapuskereen... (y)
BalasHapusIni ceritamu pak :3
HapusCerita baru dimulai.
BalasHapusKembali menata niat, dan jangan sampe putus asa dari Rahmat-Nya. Kisah serupa dari pengalaman sekitar telah ditulis di
http://arumanblog.blogspot.com/
Amin ami, semoga istiqomah nulis :)
Hapuseh, promosi jal :D
Pity, I read your story :-)
BalasHapusYa ampun kakak :) makasih sudah sempet2in baca :)
Hapus