Hai owopers, masih sama seperti topic sebelumnya, tulisanku kali ini menceritakan tentang kisah nyata seorang wanita yang sempat aku temui di desa lokasi kelompokku kkm. Wanita yang mengispirasiku untuk menulis ini. Dan untuk memberi kesan yang lebih mendalam, akan kugunakan sudut pandang orang pertama.
Inilah ceritanya, selamat
menikmati
Aku hanya seorang wanita dengan
usia tua dan wajah keriput, mungkin jika kulepas kerudung yang melindungi
kepalaku, kalian akan tau bahwa rambut putih telah menjadi mayoritas
penghuninya. Namaku Ginten, nama tersebut persis diberikan oleh kedua orang
tuaku setelah beberapa hari kelahiranku di dunia. Aku tak pernah tau persis apa
arti dari Ginten. Ah sebuah nama itu hanya perias ijazah atau perias KTP atau
bahkan hanya perias ucapan panggilan orang-orang sekitar. Bagi mayoritas
penghuni dunia, mereka menganggap bahwa sebuah nama akan berpengaruh besar bagi
kehidupan kita, karna nama dianggap sebagai doa. Tapi, bagiku tidak setidak
adil itu tuhan memutuskan sebuah takdir bagi pemilik nama terbaik di dunia. Aku
tau persis itu, nama hanyalah perias, tidak lebih.
Aku adalah anak satu-satunya yang
terlahir selamat dari kedua orang tuaku. Sebenarnya aku memiliki adik yang
imut-imut dan jika ia besar pasti akan lebih membanggakan orang tuaku. Tapi
sayangnya, ajal lebih dahulu menjemputnya sebelum ia sempat menjadi seorang
yang riang yang dapat menemaniku bermain. Aku tak dapat melakukan apa-apa, itu
sudah takdir dan pasti akan ada hikmahnya bagi siapa saja yang mampu berfikir.
Seiring dengan bertambahnya
umurku, yang merubahku menjadi wanita remaja dan juga merubah orang tuaku
menjadi tua, aku mampu belajar menjadi tulang punggung keluarga. Menghadapi
kondisi orang tuaku yang semakin tua renta, yang tak dapat melakukan apapun, hanya
mampu duduk dikursi goyang tuanya yang seharusnya sudah waktunya diganti. Aku
mulai berfikir untuk mengambil alih semua pekerjaannya, termasuk membantu warga
yang membutuhkan bantuanku dan bersedia menyediakan upah setimpal dengan apa
yang telah aku kerjakan. Dari hasil jerih payah usahaku setelah berhari-hari
berkerja dengan warga, aku dapat membeli sendiri segala kebutuhan hidupku.
Melakukan rutinitas pagiku dengan mencari kayu kering, lalu menggotongnya ke
dapur untuk dijadikan bahan bakar memasak di tungku.
Rutinitas itu akhirnya menjadi
kelangsungan hidupku. Tak terasa hidupku menyamai usia orang tuaku, wajahkupun
sekeriput mereka, yang membedakan adalah punggungku masih kuat membungkuk,
tanganku masih gesit bekerja, kakiku masih tangguh berjalan. Hingga akhirnya
pada usiaku yang ke sekian puluh, aku tersadar bahwa aku masih sendiri.
Jangankan ada lelaki yang membisikkan kata cinta di telingaku, satupun lelaki
di dunia ini tak ada yang mendekat. Sampai suatu ketika saat aku bercermin di
dinding rumah gubukku, aku menyadari bahwa waktuku telah habis menunggu,
takdirku benar-benar harus sendiri.
Usiaku kini 60 tahun, dengan baju
dan kerudung yang itu-itu aja, kuluruskan kembali tekadku menjadi tulang
punggung keluarga. Melakukan pengajian di masjid dan beribadah serajin mungkin
sebisaku, karena aku sudah tak punya lagi tujuan hidup kecuali beribadah
kepadaNya.
Apakah kalian tau? Kenapa aku
memutuskan untuk menyerah menanti apa yang seharusnya kutunggu? Karena aku
bisu, aku bisu semenjak lahir. Aku hanya mampu mengungkapkan cinta kepada
siapapun (terutama kepada Rabbku) dengan hati, isyarat dan doa semata.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar